Rabu, 03 Maret 2010

MAKSIMALISASI PROFIT ,CSR DAN EKONOMI ISLAM

Rudy Wahyono

Abstrak

Maksimalisasi profit bukan untuk kelangsungan hidup perusahaan tetapi memberi dampak terhadap pengisapan dan perlakuan sewenang-wenang perusahaan terhadap karyawannya. Corporate Social Responsibility memberi citra sebagai korporasi yang tanggap terhadap kepentingan social,sebagi sarana untuk kelangsungan hidup perusahaan yang memiliki kelebihan dan kelemahan. Ekonomi Islam sebagai alternative untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi yang mengatur bahwa pada hubungan pertukaran faktor produksi didasarkan atas kerjasama, saling menguntungkan dan jujur. Islam menolak bunga tetapi menghalalkan perdagangan. Bunga melanggar normal sosial pada tingkatan makro.Islam menginginkan bahwa pekerja yang terlibat dalam produksi massa memiliki kontrak kerja yang seadilnya dalam menerima haknya sesuai output yang dihasilkan (tidak berlebihan)
Kata kunci : Maksimalisasi profit, CSR, Ekonomi Islam.
Pendahuluan
Suatu perusahaan didirikan memiliki tujuan untuk memaksimalkan tingkat keuntungan dengan berupaya menjual produk dengan tingkat harga tertentu. Dalam pasar persaingan sempurna, perusahaan pada industri yang sama (produk homogen) tidak dapat menetapkan harga sendiri, tetapi akan mengikuti harga yang berlaku di pasar atau dikatakan semua perusahaan adalah sebagai penerima harga atau price taker. Berapapun kuantitas barang yang dijual , harga jual per unit akan tetap. Pada pasar persaingan sempurna dalam jangka pendek , harga merupakan datum sehingga perusahaan mengikuti harga pasar dan kurva permintaannya horizontal dan bersifat elastis sempurna (Varian, 1999).Hal ini terjadi karena produksi perusahaan hanya sebagian kecil di pasar sehingga perusahaan hanya dapat menjual pada harga tertentu, barang yang dihasilkan perusahaan bersifat homogen dengan perusahaan lainnya sehingga bila harga dinaikkan maka pembeli akan membeli barang lain yang harganya lebih rendah.
Pada pasar persaingan sempurna pelaku pasar jumlahnya cukup banyak dan memiliki informasi sempurna. Sehingga semua perusahaan akan menetapkan harga pasar yang sama untuk produk yang sejenis karena jika perusahaan menerapkan harga yang lebih tinggi dari harga pasar maka perusahaan akan ditinggalkan oleh pelanggannya, sebab pelanggan memiliki informasi harga pasar ( pasar efisien ). Dengan demikian untuk memaksimumkan profitnya, perusahaan akan menentukan tingkat input dan output optimalnya.
Untuk memperoleh profit yang maksimal, perusahaan berupaya memperbesar perbedaan antara pendapatan dengan biayanya. Semakin besar perbedaan maka akan semakin besar tingkat keuntungan perusahaan. Pada pasar persaingan sempurna, dimana perusahaan sebagai price taker, maka upaya untuk memaksimalisasi profit dapat dilakukan dengan mengefisienkan penggunaan sumber daya dan mengoptimalkan produksinya.
Maksimalisasi Profit Sebagai Cita-Cita Kapitalisme Liberal
Apabila tujuan perusahaan adalah memaksimalkan profit akan menimbulkan kondisi yang tidak etis karena semua kegiatan ekonomi diarahkan kepada tujuan pencapaian profit saja. Oleh karena pasar dalam persaingan sempurna, maka upaya perusahaan akan dilakukan dengan cara mengeksploitir tenaga kerja dan sumber daya alam. Sejarah telah membuktikan pada awal era industrialisasi para pekerja diperalat dan diperas secara tidak manusiawi dan mendapat upah yang tidak setara dengan pekerjaannya. Hal ini bisa digambarkan melalui analisis keuntungan maksimum jangka pendek seperti di bawah ini.
Keuntungan Maksimum Jangka Pendek
Perusahaan diasumsikan selalu berupaya memaksimalkan profit (keuntungan) sehingga perlu memaksimalkan perbedaan antara total revenue dengan total cost. Dalam jangka pendek produsen diasumsikan tidak dapat menambah kapasitas produksinya dan produsen baru juga tidak dapat membangun pabrik baru untuk memasuki pasar.
Figur 1, Profit Maximization in the short run

wiXi = cost
A

piYi = revenue

B






0 Y0 Y* ∏(y)



Pada figure 1 dapat dijelaskan sebagai berikut :
Profit negatif pada tingkat output rendah karena revenue tidak mencukupi untuk menutup biaya tetap dan variabel. Ketika output meningkat, revenue naik lebih cepat daripada cost sehingga profit menjadi positif.
Profit berlanjut naik sampai output mencapai level Y* . Pada titik ini , marginal revenue dan marginal cost sama dan jarak vertikal antara revenue dan cost,AB adalah terbesar. Y*adalah output pada tingkat profit maksimal. Pada output diatas Y* cost meningkat lebih cepat daripada revenue yaitu marginal revenue lebih kecil daripada marginal cost. Sehingga profit menurun dari titik maksimum ketika output berada di atas Y*.
Profit maksimal pada saat MR=MC untuk semua perusahaan baik pada kondisi persaingan maupun tidak. Kondisi semacam itu dapat dirumuskan dalam persamaan aljabar sebagai berikut :
Profit, ∏ = TR – TC
Profit maksimal dicapai dengan syarat turunan pertama dari persamaan di atas sama dengan nol atau / y = 0
Jadi / Y = TR/ Y - TC/ Y
0 = MR – MC atau MR = MC

Contoh kasus dua faktor input
Untuk kasus dua faktor input X1 dan X2 , fungsi tujuan profit dapat dituliskan :
∏ = p.f(X1.X2)- w1.X1 – w2.X2
Turunan pertama untuk proses maksimisasi laba adalah :


Persamaan tersebut dapat dinotasikan sebagai berikut :
= p.f1 – w1 = 0
= p.f2 – w2 = 0
Kondisi turunan pertama ini menunjukkan bahwa nilai dari produk marjinal untuk masing-masing faktor (p.fi) harus sama dengan harga faktor inputnya (wi). Kondisi turunan pertama ini juga menunjukkan bahwa slope dari garis isoprofit sama dengan slope dari isoquant ( fungsi produksi) seperti tampak pada figur 2 berikut :



Figur 2
Y
slope = w1/p isoprofit

Y*
isoquant
Y= f(X1,X2), Marginal Product

X
X*

Dari figur 2 garis kurva menunjukkan fungsi produksi dengan dua faktor, sehingga persamaan profit sebagai berikut :

Sedangkan untuk output dapat dihitung dengan rumus :
Y =
Pada figure 2, profit maksimum terjadi pada persinggungan isoprofit dengan isoquant. (X*,Y*). Marginal product = MP1 = w1/p
Dari gambar tersebut dapat dianalisis jika perusahaan dalam jangka panjang akan mempertahankan maksimalisasi profit maka yang akan dilakukan oleh perusahaan adalah melakukan efisiensi internal berupa penekaanan upah karyawan atau eksploitasi sumber daya alam secara tidak bertanggung jawab sehingga menimbulkan kerusakan linkungan. Contoh nyata yang dapat menjadi peringatan bagi bangsa indonesia adalah perusahaan Freeport di Papua. Kerusakan geologi dan kelestarian alam sangat parah yang diakibatkan oleh penggalian tambang secara serampangan. Walaupun perusahaan telah mengkompensasinya dengan program corporate social responsibility (CSR), hasilnya tidaklah sebanding dengan tingkat kerusakan yang dialami.
CSR adalah basis teori tentang perlunya sebuah perusahaan membangun hubungan harmonis dengan masyarakat dimana lokasi perusahaan berada. Secara teoretik, CSR dapat didefinisikan sebagai tanggung jawab moral suatu perusahaan terhadap para strategic-stakeholdersnya, terutama komunitas atau masyarakat disekitar wilayah kerja dan operasinya. CSR memandang perusahaan sebagai agen moral. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut pandang CSR adalah pengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat lainnya. Salah satu prinsip moral yang sering digunakan adalah golden-rules, yang mengajarkan agar seseorang atau suatu pihak memperlakukan orang lain sama seperti apa yang mereka ingin diperlakukan. Dengan begitu, perusahaan yang bekerja dengan mengedepankan prinsip moral dan etis akan memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat.
Menilik sejarahnya, gerakan CSR modern yang berkembang pesat selama dua puluh tahun terakhir ini lahir akibat desakan organisasi-organisasi masyarakat sipil dan jaringannya di tingkat global. Keprihatinan utama yang disuarakan adalah perilaku korporasi, demi maksimalisasi laba, lazim mempraktekkan cara-cara yang tidak fair dan tidak etis, dan dalam banyak kasus bahkan dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi. Beberapa raksasa korporasi transnasional sempat merasakan jatuhnya reputasi mereka akibat kampanye dalam skala global tersebut.
Hingga dekade 1980-90 an, wacana CSR terus berkembang. Munculnya KTT Bumi di Rio pada 1992 menegaskan konsep sustainibility development (pembangunan berkelanjutan) sebagai hal yang mesti diperhatikan, tak hanya oleh negara, tapi terlebih oleh kalangan korporasi yang kekuatan kapitalnya makin menggurita. Tekanan KTT Rio, terasa bermakna sewaktu James Collins dan Jerry Porras meluncurkan Built To Last; Succesful Habits of Visionary Companies di tahun 1994. Lewat riset yang dilakukan, mereka menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang terus hidup bukanlah perusahaan yang hanya mencetak keuntungan semata. (Mas Achmad Daniri http: //www.google.co.id /search?q= maksimalisasi+profit&hl = id&star t= 180&sa =N)
Entitas bisnis semenjak awal telah menunjukkan kekuatannya dengan memegang dua syarat sekaligus; modal (capital) dan kekuasaan (power) yang dengan syarat tersebut entitas bisnis dengan leluasa mengintervensi perdagangan dunia dan pada titik yang paling menghawatirkan dan itu telah terjadi; membentuk tatanan dunia yang kapitalistik dengan seperangkat idiologi bawaanya. Diatas pondasi tersebut entitas bisnis mencapai tujuannya dengan kuasa penuh ditangan dan tak jarang; bahkan telah menjadi keniscayaan bahwa praktek mencapai tujuan bisnis yaitu akumulasi modal dicapai dengan cara yang merusak tatanan sosial dan lingkungan yang ada. Besarnya kekuatan modal entitas bisnis sering kali tidak diimbangi dengan kinerja sosial lingkungan yang memadai. Dalih kaum neoliberalis yang menyatakan bahwa kucuran dana investasi dalam industriaslisasi akan membawa trickle down effect bagi kesejahteraan yang merata bagi semua kalangan masyarakat serta berdampak pada manajemen ekologi yang lebih ramah ternyata meleset adanya. Kemiskinan, kebodohan, penyebaran penyakit menular, sulitnya akses hidup dan air bersih maupun deforestasi, pemanasan global, pencemaran lingkungan dan lain sebagainya masih menjadi permasalahan dunia yang seakan tiada berujung (Sampurno, 2007)
Dampak negatif praktek bisnis dapat dilihat dapat dilihat dari aspek dan sudut pandang apapun baik dari produksi di hilir hingga hulu, baik dari perlakuan kepada internal resource seperti buruh, keluarga buruh maupun external resource yang membentang dari mulai masyarakat sekitar industri, konsumen, pemerintah dan yang paling penting terhadap lingkungan sekitar serta lingkungan yang dipengaruhi oleh produk yang dihasilkan. banyak rentetan data kasus mengenai dampak negatif praktek bisnis yang berdampak pada tatanan sosial dan lingkungan di antaranya, kebocoran reaktor nuklir Chernobyl, Ukraina (1986); eksekusi mati Ken Saro-Wiwa (1995) diikuti gerakan separatis MOSOP (Movement for the Survival of the Ogoni People) sebagai representasi kekecewaan masyarakat sipil terhadap ketidakadilan pemerintah Nigeria dan Shell; blokade aktivis Greenpeace terhadap aksi penenggelaman bekas rig milik Shell di Laut Atlantik Utara dalam peristiwa Brent Spar (1995); sampai pada peristiwa dehumanisasi dan penghancuran lingkungan yang terjadi di Indonesia. Penculikan dan eksekusi terhadap Marsinah (1994), konflik tidak berkesudahan antara masyarakat adat Papua dengan PT Freeport Indonesia dan Pemerintah serta peristiwa semburan lumpur panas dari ladang eksplorasi Lapindo Brantas di Sidoarjo lebih dari satu tahun belakangan ini adalah segilintir contoh dampak negatif keberadaan industri di Indonesia.
Sejarah buruk industri ini yang membawa para pegiat bisnis pada salah satu skema mekanisme tanggung jawab atas dampak negatif yang dihasilkannya serta seiring dengan menguatnya tekanan dari masyarakat, organisasi sipil dan para aktifis HAM dan lingkungan di beberapa negara munculah beberapa aktifitas derma pihak industri sebagai kompensasi ganti rugi aktifitas negatif perusahaan (corporate philantropy).
Evolusi konsep derma sosial perusahaan yang pada awalnya hanya merupakan mekanisme kompensasi dampak negatif aktifitas perusahaan yang berupa sejumlah dana yang dikeluarkan secara cuma-cuma baik dalam bentuk langsung maupun berupa program-program sosial kini mulai bergerak pada ranah kesadaran akan tangung jawab sosial perusahaan atau yang banyak dikenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR). Konsep yang belakangan banyak dibicarakan dan diujicobakan oleh banyak praktisi diperusahaan sebagai cara efektif bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan.
Konsep ini yang sekarang marak dipakai oleh banyak entitas bisnis sebagai cara ampuh dan mujarab memoles aktifitas tanggung jawab sosialnya agar terlihat lebih “seksi” dan nge-pop. Maka bermunculanlah program-program yang berusaha menampilkan watak korporasi yang sadar lingkungan dan peduli masyarakat melalui program-program sosial seperti bantuan bencana alam, mudik bareng, pendampingan UKM, bantuan pendidikan, kesehatan, community development masyarakat sekitar perusahaan dan masih banyak lagi.
Tak jarang perusahaan mulai menggarap serius aktifitas CSR nya melalui yayasan (foundation) yang khusus dibuat untuk mengimplementasikan program sosialnya atau mulai membentuk divisi khusus yang mengelola CSR perusahaannya. Begitu pun dengan apresiasi aktifitas CSR banyak diberikan oleh lembaga-lembaga yang mendukung usaha dunia bisnis dalam program sosial lingkungannya seperti yang baru baru ini diselenggarakan seperti Danamon CSR Awards, suistainable reporting awards, CSR Expo Dsb. Belum cukup latah bicara CSR, pemerintah melalui DPR ikut-ikutan meregulasi aktifisas Tangung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL) melalui UU PT terutama Pasal 74 yang terkenal kontroversial.
Perkembangan CSR di Indonesia
Penerapan CSR di indonesia bisa dilacak dari hasil ketegangan hubungan antara perusahaan dan pemangku kepentingan sosial yang biasanya direperesentasikan oleh pihak masyarakat, LSM maupun pemerintah yang berupa seperangkat usaha untuk membungkam suara-suara kritis elemen sosial melalui sejumlah program sosial yang masih bersifat karitas dan sukarela. Melalui mekanisme self regulationnya menjamur para entitas bisnis yang secara sukarela menggelar program sosial lingkungannya yang tujuan utamanya adalah sebagai media promosi perusahaan dan pada titik tertentu terlihat seperti aktifitas kosmetik komunikasi perusahaan belaka yang sangat jauh dari kebutuhan riil dan permasalahan sosial yang ada di masyarakat.
Sangat banyak data yang mencatat usaha perusahaan yang berkontribusi dalam pembangunan fisik maupun sosial melalui program CSR nya, berikut diantaranya: PT Freeport Indonesia mengklaim telah menyediakan layanan medis bagi masyarakat Papua melalui klinik-klinik kesehatan dan rumah sakit modern di Banti dan Timika. Di bidang pendidikan, PT Freeport menyediakan bantuan dana pendidikan untuk pelajar Papua, dan bekerja sama dengan pihak pemerintah Mimika melakukan peremajaan gedung-gedung dan sarana sekolah. Selain itu, perusahaan ini juga melakukan program pengembangan wirausaha seperti di Komoro dan Timika.Melalui Program Kemitraan dan Bina Lingkungan, Pertamina terlibat dalam aktivitas pemberdayaan ekonomi dan sosial masyarakat, terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan lingkungan. Pada aspek pendidikan BUMN ini menyediakan beasiswa pelajar mulai dari tingkatan sekolah dasar hingga S2, maupun program pembangunan rumah baca, bantuan peralatan atau fasilitas belajar. Sementara di bidang kesehatan Pertamina menyelanggarakan program pembinaan posyandu, peningkatan gizi anak dan ibu, pembuatan buku panduan untuk ibu hamil dan menyusui dan berbagai pelatihan guna menunjang kesehatan masyarakat. Sedangkan yang terkait dengan persoalan lingkungan, Pertamina melakukan program kali bersih dan penghijauan seperti pada DAS Ciliwung dan konservasi hutan di SangattaPT HM Sampoerna, salah satu perusahaan rokok besar di negeri ini juga menyediakan beasiswa bagi pelajar SD, SMP, SMA maupun mahasiswa. Selain kepada anak-anak pekerja PT HM Sampoerna, beasiswa tersebut juga diberikan kepada masyarakat umum. Selain itu,melalui program bimbingan anak Sampoerna, perusahaan ini terlibat sebagai sponsor kegiatan-kegiatan konservasi dan pendidikan lingkungan.PT Coca Cola Bottling Indonesia melalui Coca Cola Foundation – didirikan pada Agustus 2000 - melakukan serangkaian aktivitas yang terfokus pada bidang-bidang: pendidikan, lingkungan, bantuan infrastruktur masyarakat, kebudayaan, kepemudaan, kesehatan, pengembangan UKM, juga pemberian bantuan bagi korban bencana alam.PT Bank Central Asia, Tbk berkolaborasi dengan PT Microsoft Indonesia menyelenggarakan pelatihan IT bagi para guru SMP dan SMA negeri di Tanggamus, Lampung. Pelatihan ini sebagai pelengkap dari pemberian bantuan pendirian laboratorium komputer untuk beberapa SMP dan SMA di Gading Rejo, Tanggamus yang merupakan bagian dari kegiatan dalam program Bakti BCA. Nokia Mobile Phone Indonesia telah memulai program pengembangan masyarakat yang terfokus pada lingkungan dan pendidikan anak-anak perihal konservasi alam. Perusahaan ini berupaya meningkatkan kesadaran sekaligus melibatkan kaum muda dalam proyek perlindungan orangutan, salah satu fauna asli Indonesia yang dewasa ini terancam punah.PT Timah, dalam rangka melaksanakan tanggung jawab sosialnya menyebutkan bahwa ia telah menyelenggarakan program-program yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Perusahaan ini menyatakan bahwa banyak dari program tersebut yang terbilang sukses dalam menjawab aspirasi masyarakat diantaranya berupa pembiakan ikan air tawar, budidaya rumput laut dan pendampingan bagi produsen garmen.Astra Group, melalui Yayasan Dharma Bhakti Astra menyebutkan bahwa mereka telah melakukan program pemberdayaan UKM melalui peningkatan kompetensi dan kapasitas produsen. Termasuk di dalam program ini adalah pelatihan manajemen, studi banding, magang, dan bantuan teknis. Di luar itu, grup Astra juga mendirikan yayasan Toyota dan Astra yang memberikan bantuan pendidikan. Yayasan ini kemudian mengembangkan beberapa program seperti: pemberian beasiswa, dana riset, mensponsori kegiatan ilmiah universitas, penerjemahan dan donasi buku-buku teknik, program magang dan pelatihan kewirausahaan di bidang otomotif.
Dari rentetan contoh kecil data yang menggambarkan aktifitas sosial lingkungan perusahaan di atas dapat kita lihat perkembangan yang menggembirakan dari penerapan CSR di Indonesia baik dari segi kuantitas maupun kualitas program. Namun sayangnya terdapat kelemahan dari skema CSR yang selama ini diimplementasikan oleh banyak perusahaan yang banyak kalangan berpendapat terdapat kelemahan yang sangat mendasar dari konsep tersebut.
Lubang Hitam Praktik CSR di Indonesia
Sebagaimana kita ketahui bahwa CSR merupakan konsep yang sebenarnya tidak baru namun kini marak diperbincangkan banyak kalangan. Sebagai konsep yang mengalami perkembangan yang sangat cepat, CSR banyak diimplementasikan oleh banyak pihak sesuai dengan pemahaman dan kepentingannya masing-masing. Di Indonesia, infrastruktur pendukung CSR yang masih seumur jagung seperti literatur dan regulasi mengakibatkan banyak yang mengintepretasikan CSR secara beragam. Dari pelaksanaan CSR yang telah ada di Indonesia nampaknya kita harus jujur bahwa masih banyak kelemahan yang menjauhkan aplikasi dari substansi CSR itu sendiri.Kelemahan yang pertama yang harus kita akui bersama adalah beragamnya definisi yang menggambarkan konsep CSR. Terkait permasalahan ini Jalal dan Taufik (2008) mengutip artikel Alexander Dahlsrud dengan tajuk “How Corporate Social Responsibility is Defined: an Analysis of 37 Definitions”, (Jurnal Corporate Social Responsibility and Environmental Management, No 15/2008) Dahlsrud menyatakan bahwa muara dari berbagai debat CSR sebenarnya bisa didefinisikan sebagai kontribusi perusahaan untuk pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan—sebuah proses perubahan yang disengaja untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Dahlsrud juga mengidentifikasi 5 komponen pokok dari berbagai definisi CSR yang ada, yaitu: ekonomi, sosial, lingkungan, pemangku kepentingan dan voluntarisme. Buat Dahlsrud, habis sudah perdebatan soal definisi CSR. Kalau pun ada, itu cuma masalah artikulasi, bukan substansi. Maka dari itu sebenarnya debat mengenai definisi CSR telah selesai dan kita bisa berpijak dari dasar tersebut. Lain halnya dengan di Indonesia Perdebatan definisi dan praktik ideal CSR menjadi wacana hangat di Indonesia. Bahkan ia memasuki ruang kebijakan. Secara eksplisit, isu CSR masuk dalam Undang-Undang Penanaman Modal dan Perseroan Terbatas; pun disinggung secara tegas dalam Rencana Undang Undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba). Namun sayang, perundangan ini lebih menunjukkan ketertarikan pada pewajiban, sanksi, porsi dana, dan keamanan kepentingan bisnis. Tidak tersinggung sama sekali soal makna, nilai, dan cita-cita pembangunan berkelanjutan. Demikian pula dengan reaksi pihak perusahaan. Rata-rata mereka menunjukkan penolakan, dengan alasan sama: masalah dana. Jika pemerintah melihat CSR sebagai peluang memeroleh dana di luar pajak dan kewajiban regulasi lainnya, maka pihak perusahaan seakan berpaduan suara menyatakan bahwa pewajiban CSR sebagai hanyalah tambahan pengeluaran anggaran. Selanjutnya yang kedua adalah, CSR merupakan usaha insiatif yang diformulasikan sendiri oleh sektor bisnis itu sendiri melalui self regulationnya. Konsekuensinya tidaklah mengherankan apabila skema CSR yang lazim diadopsi oleh kalangan korporasi seringkali hanyalah merupakan rangkaian pernyataan atau prinsip yang bersifat kabur yang tak mampu menjadi panduan dalam situasi konkret. Mereka juga dalam kebanyakan kasus tidak dapat berfungsi sebagai mekanisme penyelesaian berbagai masalah sosial dan lingkungan yang mencuat sebagai dampak kinerja bisnis. Situasi semacam inilah yang menjadi landasan kritik bahwa CSR tidaklah lebih daripada aktivitas public relations pihak korporasi tanpa disertai suatu perubahan yang substansial sifatnya. Sebuah kritik yang tentu saja sangat berdasar, terlebih manakala kita menyaksikan fakta bahwa seringkali pengadopsian CSR oleh sebuah korporasi tertentu sama sekali tidak menghentikan malpraktek yang dilakukannya. Kelemahan ketiga yang terjadi pada praktek CSR di indonesia adalah turunan dari kelemahan pertama yang menjatuhkan CSR pada praktek public relation belaka sehingga terkesan imagesentris dan mendahulukan program-program yang bisa dilihat oleh publik (sebagai strategi komunikasi) dibandingkan melihat kedalam perusahaan yang pada dasarnya memiliki posisi yang sama didalam stakeholder CSR, yaitu buruh. Di satu sisi mengklaim telah meningkatkan standar sosial dan lingkungan pada proses operasi atau di perusahaan intinya, akan tetapi secara bersamaan menutup mata pada pelanggaran standar perburuhan atau lingkungan yang dilakukan subsidiary atau perusahaan-perusahaan dalam supply-chain mereka. Hal serupa berlangsung pula dalam skema labor market flexibility yang dewasa ini telah menjadi trend di kalangan bisnis, dimana praktek subcontracting atau outsourcing terbukti telah memperburuk kehidupan komunitas buruh, atas dasar ini entitas bisnis terjebak pada standar ganda. Lemahnya penerapan CSR yang substansial bisa jadi karena masih minimnya infrastruktuktur pendukung aktifitas CSR di Indonesia, padahal dana dan peran strategis yang dimiliki perusahaan sangat besar dalam pembangunan di Indonesia.
Maksimalisasi Profit Ekonomi Islam

Upaya mengatasi dampak negatif dari perburuan pencapaian maksimalisasi profit perusahaan dilakukan dengan program CSR. Namun seperti telah dijelaskan di atas, disamping terdapat beberapa keuntungan CSR , lebih banyak lagi dampak negative yang akan diderita baik oleh karyawan, masyarakat dan lingkungan alam yang sulit tergantikan. Ekonomi kapitalis liberal menunjukkan pelakunya sangat agresif dalam mengeksplotasi sumber daya alam, tanpa menghiraukan dampak kerusakan social lingkungan.
Guna mengatasi kagalauan manusia terhadap kerusakan sumber daya lingkungan maka kita perlu mencari solusi alternative konsep ekonomi yang mampu membawa kesejahteraan masyarakat yang sebenarnya. Konsep memaksimalkan profit ternyata tidak membawa hasil yang memuaskan. Ini dibuktikan dengan runtuhnya beberapa perusahaan Amerika yang terlibas krisis keuangan global, menunjukkan adanya yang salah dalam konsep ekonomi kapitalis. Ekonomi Islam yang merupakan tata aturan dalam kehidupan ekonomi yang berasal dari ajaran Tuhan Yang Maha Esa memberikan prinsip keadilan dari pelaku ekonomi dan masyarakatnya dalam transaksi ekonomi.
Dalam ekonomi Iislam, konsep maksimalisasi memiliki nilai netral untuk kepentingan semua pihak. Ekonomi islam mempromosikan perdagangan sebagai pekerjaan dan anugareh keuntungan yang diberikan oleh Allah. Dalam rangka untuk mengganti transaksi bunga, ekonomi Islam memberikan insentif memobilisasi sumber daya kedalam usaha produktif yang diperbolehkan melalui partisipasi dan perluasan kerjasama antar agen dan proyek-proyek ekonomi, diversifikasi efektif produksi, investasi dan risiko yang dicapai. Dengan demikian harga resiko dalam makna tingkat suku bunga digantikan oleh expected rate of returns. Pengembalian sektor riil dibagi oleh para peserta dalam korperasi. kompetisi Marginal antara sektor moneter dan sektor riil, antara pemilik modal dan tenaga kerja, serta antara orang kaya dan miskin yang disebabkan oleh prevalensi suku bunga, semuanya digantikan oleh usaha partisipatif. Dengan cara ini, mobilisasi sumber daya melalui profit sharing terkait langsung dengan komplementaritas antara kegiatan ekonomi dan pelaku ekonomi.
Pada sektor produksi, komplementaritas antara faktor produksi (modal dan tenaga kerja) dibawa oleh pilihan persamaan modal-tenaga kerja, perbesaran perubahan teknologi dan perluasan usaha partisipatif ekonomi secara keseluruhan. Pengembangan dan pemberdayaan, yang merupakan konsekuensi dari keputusan partisipatif kerjasama berbagi risiko dan keuntungan, dapat terwujud. Dalam makroekonomi, sektor moneter dimana kapitalis keuangan berlaku, dan sektor produktif di mana tenaga kerja berlaku, terhubung dengan komplementaritas antara sektor-sektor dan pelaku ekonomi.
Dalam bagi-hasil Islam dibawah kerja sama ekonomi, karena eksklusifitas liebilty modal dalam perusahaan joint venture, pemilik modal menganggap semua biaya keuangan dalam kasus kerugian dan kehancuran bisnis. Di sisi lain, tenaga kerja dapat memilih untuk menunda mengambil dividen dan / atau menunda pembayaran upah pada perusahaan partisipasi tersebut. Namun terdapat pula, metode inovatif yang dapat dibentuk untuk mengelak dari masalah resiko dan biaya dalam perusahaan. Salah satu pilihannya adalah pengembangan dana yang dihasilkan dari upah dan keuntungan untuk digunakan pada saat keadaan darurat. Dana campuran seperti itu dapat pula diperlakukan sebagai upah dan asuransi korporasi. Konsep berbagi waktu sebagai suatu investasi sumber daya oleh pekerja untuk penundaan pengembalian dapat dianggap sebagai alat inovatif mengkapitalisasi pemegang saham antara modal dan tenaga kerja di sebuah perusahaan dan banyak di antara perusahaan untuk masalah tersebut. Semua ini kemungkinan penegasan prinsip komplementaritas antara faktor sumber daya, barang, dan usaha serta berbagai sektor melalui hubungan produksi yang bertentangan dengan sifat de-link suku bunga pembiayaan perusahaan (Vanek 1977). Variabel kontrak dalam bagi-hasil antara modal dan tenaga kerja belum dapat meningkatkan hak tenaga kerja dan menghasilkan lebih banyak aliran sumber daya dalam perekonomian melalui tingkat partisipasi dan mobilisasi kekayaan. Dalam partisipasi murni ekonomi Islam semua jenis variabel kontrak keuangan juga akan dihubungkan dengan pilihan pada opsi dan jaringan melalui indeks keuangan dalam sumber-sumber emerging dan dana investasi.
Joint Ventures dan Partisipasi Modal
Pemilik modal dapat saling bekerja sama dengan sesamanya dalam memperluas sumber investasi mereka dan juga dalam diversifikasi risiko dan usaha dengan membelanjakannya melalui perluasan ruang ekonomi. Risiko dan produk diversifikasi jadi disebabkan oleh perpanjangan sumberdaya campuran dan juga penghilangan relevansi suku bunga terhadap harga risiko, dalam hal ini uang dan produk pasar tetap obyektif dan bersaing untuk memperoleh keuntungan independen. Sehingga bunga secara efektif diganti dengan bagi hasil usaha dengan menyadari sepenuhnya terhadap evaluasi risiko. Meskipun ekonomi Islam memperlakukan profit-sharing dan partisipasi ekuitas dengan cara berbeda, tidak ada alasan atau manfaat dalam melakukan begitu. Sejak modal dan tenaga kerja saling melengkapi dalam ekonomi Islam dan partisipasi ekuitas adalah bentuk lain dari mekanisme kerjasama antar pemodal, oleh karena itu, meningkatnya jumlah perusahaan dan tenaga kerja direalisasikan dan diinterkoneksikan oleh campuran antara profit-sharing dan partisipasi ekuity (modal), keduanya dianggap sebagai kegiatan kewirausahaan partisipatif.
Konsekuensinya, dalam kasus- partisipasi ekuity (modal) kontrak dilakukan antara pemilik modal yang juga merupakan kontrak antara modal dan tenaga kerja dan dengan di antara keduanya atau di antara semuanya. Hal ini berarti sebuah perluasan sistemik mobilisasi sumber daya di seluruh proses ekonomi Islam. Partisipasi yang luas seperti itu harus ditegakkan jika bunga akan dihapuskan. Oleh karena itu prinsip komplementaritas berkaitan dengan modal uang untuk usaha produktif. Dengan cara yang sama, usaha-bersama dan partisipasi modal harus melayani pemberdayaan yang lebih dan pengembangan secara luas bagi tenaga kerja dan modal dalam suatu kerangka kewirausahaan dengan meningkatkan kemungkinan pengambilan keputusan.
Dalam sudut pandang sistemik ekonomi Islam tidak perlu membedakan secara khusus antara bagi-hasil dengan ekuitas-keuangan, kecuali untuk mengidentifikasi sumber dana dan klaim kontrak pada dividen oleh para peserta. Tetapi dalam kerangka sistem umum hubungan kausalitas antara sumber daya yang mengalir dari satu sumber ke sumber lainnya tidak membuat perbedaan dalam hal kekhususan sumber-sumber dana. Mendaftarkan kekhususan sumber dana tersebut tidak mempunyai singnifikansi ekonomi; hal ini hanya masalah legal formal dan pemunuhan standar akuntansi sebuah kontrak.
Pada kerangka sistem umum menjadi hal yang menarik untuk diteliti bahwa aliran sumber daya dapat berperan dalam membentuk keseimbangan dinamis dengan sistem endogenous etika di dalamnya. Etika dilambangkan dalam sistemik Islam dengan sebuah prilaku intrinsik di semua entitas sebagaimana pengetahuan mengalir dari epistimologinya. Dengan demikian ketika komplementaritas universal berlaku lintas keanekaragaman di dalam ekonomi Islam, kesatuan dalam pengertian ini adalah sebagai tanda penyatuan pengetahuan dari berbagai lembaga, sektor, dan variabel serta hubungannya. Seperti halnya komplementeritas diwujudkan melalui proses partisipasi. dapat diwujudkan melalui kedua instrumen keuangan di atas. Hal ini juga tercermin dalam hal teknik metode yang memungkinkan evolusi sistem interaksi dan integrasi dapat dipelajati dan dianalisa (Shakun 1988).
Daftar bacaan :
Biswas, Basudeb,
Hal R. Varian, Intermediate Microeconomics
Robert S. Pindyck, Microeconomics
Hal R. Varian, Microeconomic Analysis
Hasan Hasan,Zubair, Theory of profit from Islamic Perspective
Roby Akbar, http://robyakbar.wordpress.com/2008/04/24/lubang-hitam-csr-indonesia/

0 komentar: